Hulu (permulaan) akhlak terpuji
dan pangkalnya, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama,
adalah al-Hilm (sabar dan lemah lembut).
Sebagian ulama mengatakan bahwa pangkal segala akhlak adalah at-Tawadhu’ (rendah hati).
Namun, sebagian lain mengatakan bahwa pangkalnya adalah al-Hilm (sabar dan lemah lembut).
Wahai saudara-saudara, salah satu cara terbaik untuk mendapatkan al-Hilm (sabar dan lemah lembut),
adalah berusaha bersikap sabar dan lembut, serta membiasakannya.
Oleh sebab itu, ketika ditanyakan kepada Ahnaf bin Qais,
beliau telah dijadikan perumpamaan untuk al-Hilm (sabar dan lemah lembut),
“Benarkah Anda orang yang halim (sabar dan lemah lembut)?”
Beliau berkata, “Saya bukan orang yang dan sabar dan lembut, namun berusaha bersabar dan berlemah lembut.”
Jadi, al-Hilm adalah dengan berusaha bersikap sabar dan lemah lembut,
sebagaimana hadis yang telah lalu, yang diriwayatkan kepada kita.
Semakin seseorang berusaha untuk mendapatkan akhlak mulia ini,
niscaya jika dia berhasil, maka akhlak-akhlak lainnya akan mengikutinya.
Akhlak terpuji lainnya akan tumbuh setelahnya, dari arahan
dan sikap lembut yang telah seseorang dapatkan.
Adapun salah satu sebab terbesar untuk meraihnya adalah dengan berpuasa.
Berikut ini adalah sebuah hadis agung untuk Anda, Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa adalah perisai, …” (HR. Muslim)
yaitu yang menghalangi seseorang dari azab Allah ʿAzza wa Jalla,
dan membentenginya dari akhlak-akhlak tercela,
karena hadis ini mutlak.
Di antara yang menunjukkan makna kedua ini adalah akhir hadisnya.
Lihat apa yang beliau sabdakan!
“Puasa adalah perisai, …” artinya yang akan menghalangi dan mencegah Anda,
yaitu penghalang antara Anda dan akhlak-akhlak tercela.
Ini adalah salah satu tafsiran sabda Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
mengingat Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah diberi Jawāmiʿ al-Kalim (kalimat ringkas yang padat makna).
Beliau Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai,
jika seorang dari kalian sedang berpuasa,
maka jangan berkata keji, berbuat fasik, atau mencaci maki.
Jika ada seseorang yang menghinanya atau mengajak bertikai,
hendaknya dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
“Jika ada seseorang yang menghinanya atau mengajaknya bertikai,
hendaknya dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Maksud sabda beliau, “mengajak bertikai” adalah,
para ulama mengatakan, bahwa bertikai, bisa dengan tangan,
atau mungkin juga dengan lisan.
Istilah ini ada dalam bahasa orang Arab.
Sebagian masyarakat di Jazirah Arab masih menyebut “bertengkar” dengan istilah “perang”.
Wahai saudara-saudara, dalam hadis ini,
Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa seorang Muslim,
jika ada seseorang yang berselisih dengannya, lalu mencelanya,
disebut mencela jika dilakukan secara zalim, tanpa ada alasan yang benar.
Itulah kenapa yang demikian itu tidak ada kisasnya.
Dan dia mencela, bukan karena untuk memperingatkan atau menegur.
Jadi, itu benar-benar perbuatan zalim dan aniaya.
“Jika ada seseorang yang menghinanya atau mengajak bertikai,
hendaknya dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’”
Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, melalui hadis ini, ingin menjelaskan tiga perkara
kepada siapa pun yang mendapatkan sesuatu yang berpotensi menyulut amarahnya,
dan membuatnya kehilangan kelembutan sikapnya.
Nabi menjelaskan kepadanya tiga perkara:
Pertama, jangan membalas perbuatan zalim dengan perbuatan yang semisalnya.
Jangan membalas kezaliman dengan kezaliman.
Jangan membalas perbuatan aniaya. Hendaknya ia menahan diri.
Itu sebabnya Nabi tidak bersabda, “Balas dia!”
melainkan bersabda, “… Hendaknya dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’”
Kedua, Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya
agar mengatakan, “Aku sedang berpuasa.”
Bahkan para ahli Fikih, dan ini merupakan pendapat yang terkenal,
dan juga menjadi pendapat pilihan Syekh Taqiyyuddin,
bahwa dia dianjurkan untuk mengeraskan ucapannya,
yaitu dengan mengangkat suara dan mengatakannya dengan suara yang lantang,
sehingga didengar oleh orang yang mencelanya,
mengajaknya bertikai, atau menzaliminya,
hendaknya dia mengatakan, “Aku sedang berpuasa.”
Alasannya, yaitu anjuran mengeraskan suaranya,
karena mengucapkan kalimat ini akan menjadi pelajaran untuk dirinya sendiri
dan peringatan untuk orang lain.
Pelajaran untuk dirinya sendiri, “Aku menahan diri, karena
mematuhi perintah Allah ʿAzza wa Jalla,
dan mengikuti apa yang diarahkan oleh Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Juga peringatan kepada orang lain, bahwa dia menahan diri
bukan karena tidak mampu, takut, atau lemah,
melainkan dia kuat karena Allah ʿAzza wa Jalla.
Ketiga, yang dijelaskan oleh Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini,
bagi seorang Muslim, melalui hadis ini,
meskipun ini tidak termaktub dalam kitab Sahihain,
melainkan ada tambahan yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Sahihnya, bahwa beliau bersabda,
“Jika kamu berdiri, maka duduklah!”
Tambahan ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam hadis yang sama.
Di sini Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika seseorang dicela oleh orang lain,
atau diajak bertikai, yang mana hal itu pasti akan menyulut amarahnya,
dan meningkatkan hasrat untuk berbuat aniaya dalam dirinya,
di saat seperti itu, Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya
untuk duduk jika dia sedang berdiri,
atau berbaring jika dia sedang duduk.
Disebutkan juga dalam hadis lain,
agar dia pergi, lalu berwudu.
====
سَيِّدُ الْأَخْلَاقِ الْحَسَنَةِ
وَمَرَدُّهَا كَمَا ذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَيْهِ
وَهُوَ الْحِلْمُ
فَإِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ: إِنَّ سَيِّدَ الْأَخْلَاقِ التَّوَاضُعُ
وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ: إِنَّ سَيِّدَ الْأَخْلَاقِ الْحِلْمُ
الْحِلْمُ أَيُّهَا الْإِخْوَةُ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُكْسِبُهُ
التَّحَلُّمُ وَالتَّعَوُّدُ عَلَيْهِ
وَلِذَا قِيلَ لِأَحْنَفَ بْنِ قَيسٍ
وَقَدْ كَانَ يُضْرَبُ بِهِ الْمَثَلُ فِي الْحِلْمِ
هَلْ أَنْتَ حَلِيمٌ؟
قَالَ: لَسْتُ حَلِيمًا وَإِنَّمَا أَتَحَلَّمُ
إِذَنِ الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ
كَمَا رُوِيْنَا فِي الْحَدِيثِ الْمُتَقَدِّمِ
وَكُلَّمَا سَعَى الْمَرْءُ فِي الْاِكْتِسَابِ بِهَذَا الْخُلُقِ الْكَرِيمِ
الَّذِي مَنِ اكْتَسَبَهُ كَانَتِ الْأَخْلَاقُ تَبَعًا بَعْدَهُ
وَكَانَتِ الْأَخْلَاقُ تَأْتِي بَعْدَ ذَلِكَ فِي سَوْقِهِ
وَفِي مَجْرَاهُ إِذَا اكْتَسَبَهُ الْمَرْءُ
مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ اكْتِسَابِهِ الصَّوْمُ
وَإِلَيْكَ هَذَا الْحَدِيثُ الْعَظِيمُ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الصِّيَامُ جُنَّةٌ
أَيْ حَاجِبٌ بَيْنَ الْمَرْءِ وَبَيْنَ عَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَحَاجِبٌ بَيْنَ الْمَرْءِ وَبَيْنَ مَسَاوِئِ الْأَخْلَاقِ كَذَلِكَ
إِذِ الْحَدِيثُ مُطْلَقٌ
وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى الْمَعْنَى الثَّانِي تَتِمَّةُ الْحَدِيثِ
انْظُرْ مَاذَا قَالَ
الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَحْجُزُكَ وَيَمْنَعُكَ
وَيَكُونُ حَاجِزًا بَيْنَكَ وَبَيْنَ مَسَاوِئِ الْأَخْلَاقِ
وَهَذَا مِنْ أَحَدِ مَعَانِي كَلَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُوتِيَ جَوَامِعَ الْكَلِمِ
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ
فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ
فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَفْسُقْ وَلَا يَصْخَبْ
فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ
فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ
فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
وَمَعْنَى قَوْلِهِ قَاتَلَهُ
قَالُوا: إِمَّا أَنْ تَكُونَ الْمُقَاتِلَةُ بِالْيَدِ
وَقَدْ تَكُونُ الْمُقَاتِلَةُ بِاللِّسَانِ
وَهِيَ مُسْتَخْدَمَةٌ فِي لِسَانِ الْعَرَبِ
وَمَا زَالَ بَعْضُ أَبْنَاءِ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ يُسَمُّونَ الْمُحَاجَجَةَ قِتَالًا
إِذَنْ أَيُُّهَا الْإِخْوَةُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمُسْلِمَ
إِذَا اعْتَرَضَ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَسَبَّهُ
وَالسَّبُّ لَا يَكُونُ إِلَّا بِظُلْمٍ مِنْ غَيْرِ بِمُوجِبٍ
وَلِذَا فَإِنَّهُ لَا يَكُونُ قِصَاصًا
وَلَا يَكُونُ مِنْ بَابِ التَّنْبِيهِ وَالتَّصْحِيحِ
وَإِنَّمَا هُوَ اعْتِدَاءٌ وَظُلْمٌ
فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ
فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
فَبَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةَ أُمُورٍ
لِمَنْ جَاءَهُ أَمْرٌ يَكُونُ مُثِيرًا لِغَضَبِهِ
وَسَبَبًا فِي تَرْكِهِ لِحِلْمِهِ
بَيَّنَ لَهُ ثَلَاثَةَ أُمُورٍ
الْأَمْرَ الْأَوَّلَ أَنْ لَا يَرُدَّ الظُّلْمَ بِمِثْلِهِ
وَأَلَّا يَرُدَّ الْاِعْتِدَاءَ بِاعْتِدَاءٍ
وَأَلَّا يَرُدَّ الْاِعْتِدَاءَ وَإِنَّمَا يَمْتَنِعُ
وَلِذَا لَمْ يَقُلْ: اعْتَدِ عَلَيْهِ
وَإِنَّمَا قَالَ: فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
وَالْأَمْرَ الثَّانِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ
أَنْ يَقُولَ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
حَتَّى قَالَ فُقَهَاؤُنَا وَهُوَ مَشْهُورُ الْمَذْهَبِ
وَاخْتِيَارُ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ كَذَلِكَ
أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْهَرَ بِهَا
وَأَنْ يَرْفَعَ صَوْتَهُ فَلْيَقُلْ بِصَوْتٍ مُرْتَفِعٍ
يُسْمِعُ هَذَا الَّذِي سَابَّهُ
أَوْ قَاتَلَهُ وَاعْتَدَى عَلَيْهِ
فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ أَيْ فِي كَلَامِهِ وَجَهْرِهِ بِلَفْظِهِ
أَنَّهُ إِذَا تَكَلَّمَ هَذَا الْكَلَامَ فَإِنَّهُ تَأْدِيبٌ لِنَفْسِهِ
وَتَنْبِيهٌ لِغَيْرِهِ
فَتَأْدِيبٌ لِنَفْسِهِ أَنَّنِي إِنَّمَا امْتَنَعْتُ
امْتِثَالًا لِأَمْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَامْتِثَالًا لِمَا أَشَارَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَتَنْبِيهٌ لِغِيْرِهِ أَنَّ هَذَا الْاِمْتِنَاعَ
لَيْسَ عَجْزًا وَلَا خَوَرًا وَلَا ضَعْفًا
وَإِنَّمَا هُوَ سَبَبُ قُوَّةٍ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَالْأَمْرَ الثَّالِثَ الَّذِي بَيَّنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ
لِلْمُسْلِمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ صَحِيحٍ
وَإِنَّمَا جَاءَ عِنْدَ ابْنِ خُزَيمَةَ فِي صَحِيحِهِ زِيَادَةٌ قَالَ
وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ
وَهَذِهِ الزِّيَادَةُ عِنْدَ ابْنِ خُزَيمَةَ فِي نَفْسِ الْحَدِيثِ
فَبَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْمَرْءَ إِذَا سَابَّهُ أَحَدٌ
أَوْ قَاتَلَهُ فَلَا بُدَّ وَأَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبٌ فِي مَبَادِي غَضَبِهِ
وَفِي ارْتِفَاعِ سُؤْرَةِ الدَّافِعِ لِلظُّلْمِ عِنْدَهُ
فَحِينَئِذٍ أَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يَجْلِسَ إِنْ كَانَ قَائِمًا
وَإِنْ كَانَ جَالِسًا فَلْيَضْطَجِعْ
وَقَدْ جَاءَ فِي غَيْرِ هَذَا الْحَدِيثِ
أَنْ يَقُومَ وَأَنْ يَتَوَضَّأَ